Depresi





I.       PENGERTIAN DEPRESI
Depresi adalah suatu gangguan kedaan tonus perasaan yang secara umum ditandai oleh rasa kesedihan, apati, pesimisme, dan kesepian. Keadaan ini sering disebutkan dengan istilah kesedihan (sadness), murung (blue), dan kesengsaraan.
Menurut Chaplin (2005) depresi adalah (1) pada orang normal merupakan ganguan kemurungan (kesedihan, patah semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa yang akan datang, (2) pada kasus patlogis, merupaan ketidakmauan ekstrim untuk mereaksi terhadap rangsang disertai menurunnya nilai diri, delusi ketidakpasan, tidak mampu, dan putus asa.
Menurut PPDGJ III depresi adalah gangguan yang memiliki karakteristik:
a.             Gejala Utama
Ø            Afek depresif
Ø            Kehilangan minat dan kegembiraan
Ø            Berkurangnya energi yang menuju pada meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.
b.            Gejala lainnya
Ø            Konsentrasi dan perhatian berkurang
Ø            Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Ø            Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
Ø            Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
Ø            Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
Ø             Tidur terganggu
Ø             Nafsu makan berkurang 

II.           KLASIFIKASI DEPRESI
Menurut DSM IV Gangguan depresi terbagi dalam 3 kategori (Wenar & Kerig, 2000), yaitu:
1.            Gangguan depresi berat (Mayor depressive disorder). Mensyaratkan kehadiran 5 atau lebih simptom depresi menurut kriteria DSM-IV selama 2 minggu. Kriteria terebut adalah:
a.             Suasana perasaan depresif hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh subjek ataupun observasi orang lain. Pada anak-anak dan remaja perilaku yang biasa muncul adalah mudah terpancing amarahnya.
b.             Kehilangan interes atau perasaan senang yang sangat signifikan dalam menjalani sebagian besar aktivitas sehari-hari.
c.             Berat badan turun secara siginifkan tanpa ada progran diet atau justru ada kenaikan berat badan yang drastis.
d.            Insomnia atau hipersomnia berkelanjutan.
e.             Agitasi atau retadasi psikomotorik.
f.              Letih atau kehilangan energi.
g.             Perasaan tak berharga atau perasaan bersalah yang eksesif.
h.             Kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun.
i.               Pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha bunuh diri yang muncul berulang kali.
j.               Distres dan hendaya yang signifikan secara klinis.
k.             Tidak berhubugan dengan belasungkawa karena kehilangan seseorang.

2.            Gangguan distimik (Dysthymic disorder) Suatu bentuk depresi yang lebih kronis tanpa ada bukti suatu episode depresi berat. Dahulu disebut depresi neurosis. Kriteria DSM-IV untuk gangguan distimik:
a.             Perasaan depresi seama beberapa hari, paling sedikit selama 2 tahun (atau 1 tahun pada anak-anak dan remaja)
b.              Selama depresi, paling tidak ada dua hal berikut yang hadir: tidak nafsu makan atau makan berlebihan, insomnia atau hipersomnia, lemah atau keletihan, self esteem rendah, daya konsentrasi rendah, atau sulit membuat keputusan, perasaan putus asa.
c.             Selama 2 tahun atau lebih mengalami gangguan, orang itu tanpa gejala-gejala selama 2 bulan.
d.            Tidak ada episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan siklotimia tidak ditemukan.
e.             Gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung darib kondisi obat atau medis.
f.              Signifikansi klinis distress (hendaya) atau ketidaksempurnaan dalam fungsi.

3.            Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness or cyclothymic disorder). Kriteria menurut DSM-IV:
a.             Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah sebuah episode depresi berat atau lebih.
b.             Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu episode hipomania.
c.             Tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode campuran.
d.            Gejala-gejala suasan perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi gejala yang menutupi gangguan lain seprti skizofrenia.
e.             Gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi tertentu atau kondisi medis secara umum.
f.              Distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.

Menurut PPDGJ klasifikasi depresi adalah sebagai berikut:
1.            Episode depresif ringan
Ø            MinimalDescription: http://images.olapsyche.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/SSgTrQoKCG8AADFxb081/138713-f260.jpg?et=ignJ03HB8k1kFbYGN4ksXw&nmid=0 harus ada dua dari tiga gejala utama depresi seperti kriteria PPDGJ
Ø            Ditambah sekurang- kurangnya dua gejala sampingan (yang tidak boleh ada gejala berat diantaranya)
Ø            Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
Ø            Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.

2.            episode depresif sedang
Ø            minimal harus ada dua dari 3 gejala utama
Ø            ditambah sekurang- kurangnya 3 (dan sebaiknya empat) dari gejala lainnya
Ø            seluruh episode berlangsung minimal 2 minggu
Ø            menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga.
Ø            Tanpa gejala somatik atau dengan gejala somatik.

3.            episode depresif berat tanpa gejala psikotik
Ø            semua gejala utama harus ada
Ø            ditambah minimal 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat
Ø            episode depresi terjadi minimal 2 minggu, namun dibenarkan dalam kurung waktu yang lebih singkat apabila gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Ø            Sangat tidak mungkin pasien untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, atau urusan rumah tangga kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

4.            episode depresif berat dengan gejala psikotik
Ø            memenuhi seluruh kriteria episode depresif berat tanpa gejala psikotik
Ø            disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif

III.    FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEPRESI
      Secara umum orang mengalami depresi karena salah satu kejadian atau situasi sebagai berikut:
1.            kehilangan orang yang dicintai, mungkin karena kematian
2.            peristiwa traumatis atu stressfull, misalnya mengalami kekerasan, deprifasi sosial yang kronik atau penolakan sosial.
3.            Penyakit fisik yang kronis
4.            Obat- obatan atau narkoba
5.            Adanya penyakit mental lain
6.            Seseorang yang mempunyai orang tua atau saudara kandung yang mengalami depresi akan mengalami peningkatan resiko mengalami depresi juga.
Secara khusus faktor- faktor yang menyebabkan depresi adalah sebagai berikut:
a.             faktor genetik
Bukti penelitian pada orang kembar menunjukkan bahwa jika salah satu kembar indentik didiagnosis menderita manik depresif kemungkinan 72% saudara kembarnya akan menderita gangguan yang sama. Angka kesesuaian yang menderita depresi (40%) juga lebih tinggi dari angka untuk kembar fraternal (11%), tetapi perbedaan antara kedua angka itu jauh lebih kecil jika dibandingkan perbedaan untuk kembar manik depresif.
Meskipun penyebab depresif secara pasti tidak dapat ditentukan, faktor genetik mempunyai peran terbesar. Gangguan alam perasaan cenderung terdapat dalam suatu keluarga tertentu. Bila suatu keluarga salah satu orang tuanya menderita depresi, maka anaknya beresiko dua kali lipat akan menderita depresi juga. Apabila kedua orang tuanya menderita depresi, maka resiko untuk mendapatkan gangguan alam perasaan sebelum usia 18 tahun menjadi 4 kali lipat (www.tempo.co.id/medika/arsip/042001/pus-3.htm)
Pada kembar minizogit 75% akan mengalami gangguan afektif sedangkan apabila kembar dizigot hanya 19%. Pricer (1968) dan Bertelsen et al (1977) melaporkan hasil yang hampir sama. Bagaimana proses gen diwariskan, belum diketahui secara pasti. Bahwa kembar monozigot tidak 100% menunjukkan gangguan afektif, kemungkinan ada faktor non-genetik yang turut berperan (www.tempo.co.id/medika/arsip/042001/pus-3.htm).

b.            faktor biokimia
Bukti-bukti yang ada menyatakan bahwa mood kita diregulasi oleh neurotransmitter yang mengirimkan impuls syaraf dari satu neuron ke neuron lain. Sejumlah zat kimia berfungsi sebagai neurotransmitter di berbagai sistem syaraf yang berbeda, dan perilaku normal memerlukan keseimbangan yang cermat diantaranya. Tiga neurotransmitter yang diyakini memiliki peranan penting dalam gangguan mood adalah neuropinefrin, dopamine, dan serotonin. Suatu hipotesis yang diterima secara luas adalah depresi berkaitan dengan defisiensi salah satu atau ketiga neurotransmitter itu dan mania berkaitan dengan kelebihan salah satu atau ketiganya.
Beberapa studi menggambarkan bahwa sebagian depresi dan bunuh diri pada anak-anak dan remaja mengakibatkan hipersekresi dari.
Hormon pertumbuhan juga diperkirakan sebagai penyebab pathogenesis dari depresi. Tingginya hormon pertumbuhan basal pada malam hari ditemukan pada remaja yang depresi dan juga pada anak-anak yang depresi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mempunyai gangguan tersebut.
Hipotesis lain menyatakan bahwa depresi yang terjadi erat hubungannya dengan perubahan keseimbangan adrenergik-asetikolin yang ditandai dengan meningkatnya kolnergik, sementara dopamin secara fungsional menurun.
c.             faktor lingkungan
Faktor lingkungan seperti kehilangan sesuatu, stress, mungkin bisa jadi variabel penyebab yang terpenting. Karena depresi dapat timbul pada keluarga, anak-anak yang depresi lebih sering ditemukan pada keluarga atau orang tua yang mengalami depresi (lebih sering pada ibu). Interaksi ibu-ibu yang depresi pada anak-anaknya bisa berakibat negatif.
Pengalaman awal (hilangnya kasih sayang orang tua atau ketidakmampuan mendapatkan kepuasan melalui hasil keringat sendiri) mungkin juga menjadikan seseorang rentan terhadap depresi dikemudian hari.
Dilaporkan bahwa orang tua dengan gangguan afektif cenderung akan selalu menganiaya atau menelantarkan anaknya dan tidak mengetahui bahwa anaknya menderita depresi sehingga tidak berusaha untuk mengobatinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan orang tua, jumlah sanak saudara, status sosial keluarga, perpisahan orang tua, perceraian, fungsi perkawinan, atau struktur keluarga banyak berperan dalam terjadinya gangguan depresi pada anak. Ibu yang menderita depresi lebih besar pengaruhnya terhadap kemungkinan gangguan psikopatologi anak dibandingkan ayah yang mengalami depresi. Ada hubungan yang siginifikan antara riwayat penganiayaan fisik atau seksual dengan depresi, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti.
Depresi juga bisa muncul karena salah asuh di rumah. Anak yang mendapat perlakukan tidak mengenakan dari orangtua cendrung mudah marah dan tidak puas. Tapi anak tidak tahu cara pelampiasannya sehingga mereka melampiaskan ke dirinya sendiri.
Di antara contoh perlakuan orangtua yang tidak mengenakan adalah terlalu menuntut, selalu menyalahkan, tidak menghargai, atau sering berkata/berlaku kasar. Jika perlakuan seperti ini terus menerus diterima anak sementara lingkungan sosial mapupn sekolah juga menyudutkannya  maka anak bisa mengalami depresi.
Di sekolah mapupun lingkungan pergaulan lainnya anak-anak juga bisa mengalami berbagai kekecewaan misalnya anak sebyaa di aumumny asudah bisa melakukans sesuatu. Kalo ternyata anak tidak bisa, maka ia akan diejek oleh temen-temennya. Hal ini akan membuat dia kesal dengan dirinya sendiri. Dia akan bertnya-tanya kenap mati dak bisa melakukan seperti yang orang lain lakukan. Akibatnya si anak menjadi tidak percaya diri dan akhirnya depresi.

IV.        ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN YANG MENENTUKAN TERJADINYA HAMBATAN
1.            Attachment
Attachment adalah suatu daya tarik atau ketergantungan emsional antara dua orang, variabel yang menghubungkan individu dengan lingkungan sekitar manusia, menentukan perkembangan kepribadian dan hubungan sosial (Chaplin, 2005). Attachment berfungsi memberikan rasa aman dan nyaman. Sumber awal attachment adalah dari ibu ketika masih usia kanak-kanak. Menurut Steinberg (2002), attachment merupakan ikatan emosional yang kuat dan mendalam. Ada 3 macam attachment yaitu secure attachment, anxious avoidant attachment, dan anxious resistant achievement. Hubungan antara remaja dan objek yang lekat yang membuatnya aman akan membuatnya bertumbuh psikisnya secara sehat dan dapat mengembangkan diri secara sosial dengan baik.

2.            Inisiatif
Inisiatif adalah kemampuan untuk bertingkah secara bebas, kegiatan yang terlibat dalam awal satu seri peristiwa, sikap cepat tanggap terhadap stimulus (Chaplin, 2005). Inisiatif menunjukkan kesadaran diri, berkaitan dengan kemandirian dalam mengambil keputusan, inisiatif sangat fundamental bagi perkembangan normal. Aspek inisiatif ini selalu didahului proses kognitif dan termanifestasi dalam bentuk tinfakan solutif atau problem solving. Inisiatif membuat individu cepat tanggap dan lebih berani.

3.            Kontrol Diri
Kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impuls (Chaplin, 2005). Kemmpuan untuk mengontrol dorongan ini bila lemah maka individu cenderung agresif, emosi, dan labil, tetapi bila kuat individu akan cenderung asertif, tegas, dan adaptif. Kontrol diri merupakan groundwork terjadinya hambatan, kontrol diri berkembang sejak dini. Ada titik-titik kritis bagi kontrol diri yaitu pada usia 6-9 tahun dan 12-14 tahun. Kontrol diri dibntuk melalui belajar dan disiplin dari orang tua.

4.            Kognitif
Kognitif merupakan suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan termasuk di dalamnya ialah mengamati, melihat, meperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memeprkirakan, berpikir, mempertimbangkan, menduga, dan menilai (Chaplin, 2005). Aspek ini paling mudah digunakan untuk melihat individu normal atau tidak normal. Kognitif dapat memisahkan self atau melakukan role taking, selain itu juga melakukan perspective taking yaitu bertindak antisipatif dan berdasar pertimbangan-pertimbangan yang wajar,serta mampu melakukan proses informasi. Menurut Keating (dalam Steinberg, 1990) pada masa remaja, individu dapat berpikir lebih baik daripada anak-anak tentang apa yang mungkin dan tidak untuk dilakukan, terkait dengan keterbatasan mereka. Yang kedua, remaja mulai dapat berpikir lebih baik tentang sesuatu yang bersifat abstrak. Ketika remaja, individu mulai berpikir lebih sering tentang proses berpikir itu sendiri. Remaja berpikir dalam bidang yang luas, tidak hanya terkait dengan satu isu permasalahan. Yang terakhir, remaja lebih suka melihat sesuatu secara relatif daripada melihat secara absolut.
Pada masa remaja, terkait dengan kemampuan remaja berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan, maka terdapat reasoning deduktif yang berkembang, reasoning deduktif merupakan sebuah tipe dari alasan logis yang menggambarkan secara logis suatu kesimpulan dari beberapa jenis. Selain itu berkembang juga reasoning induktif yaitu suatu jawaban yang di dapat dari kesimpulan-kesimpulan sebelumnya.

VI.    DEPRESI MENURUT PRESPEKTIF TEORI KOGNITIF
1.            Asumsi Depresi Menurut Teori Kognitif
Aaron Beck (teoritis kognitif) menghubungkan pengembangan depresi dengan adopsi dari cara berfikir yang bias atau terdistorsi secara negatif di awal kehidupan. Konsep ini dikenal dengan istilah ’segi tiga kognitif dari depresi’ (cognitive triad of depression). Aspek dari segi tiga tersebut adalah:

a.       Pandangan negatif tentang diri sendiri
Memandang sendiri sebagai tidak berharga, penuh kekurangan, tidak adequate, tidak dapat dicintai, dan kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan.

b.             Pandangan negatif tentang lingkungan
Memandang lingkungan sebagai pemaksa tuntutan yang berlebihan dan/atau memberikan hambatan yang tidak mungkin diatasi sehingga terus-menerus menyebabkan kegagalan dan kehilangan.

c.             Pandangan negatif tentang masa depan
Memandang masa depan tanpa harapan dan meyakini bahwa dirinya tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah hal itu menjadi lebih baik. Pandangan orang ini terhadap masa depan hanyalah kegagalan dan kesedihan yang berkelanjutan serta kesulitan yang tidak pernah selesai.
Berbagai jenis distorsi kognitif yang diasosiasikan dengan depresi:
a.             Cara berfikir ”semua atau tidak sama sekali” (all or nothing thinking)
Memandang kejadian secara hitam-putih. Yang ada hanya benar-salah atau baik-buruk.
b.            Generalisasi yang berlebihan
Mempercayai bahwa bila suatu peristiwa negatif terjadi, maka hal itu cenderung akan terjadi lagi pada situasi yang serupa di masa depan.
c.             Filter mental
Berfokus hanya pada detail-detail negatif dari suatu peristiwa dan dengan sendirinya menolak unsur-unsur positif dari semua yang pernah dialami.
d.            Mendiskualifikasikan hal-hal positif
Mengacu pada kecenderungan untuk memilih kalah dari kemenangan yang hampir terjadi dengan menetralisasi atau tidak mengakui pencapaian-pencapaian yang di raih.
e.             Tergesa-gesa membuat kesimpulan
Membentuk interpretasi negatif mengenai suatu peristiwa meskipun kurang bukti.
f.             Membesar-besarkan dan mengecilkan (catastrophic thinking)
Membesar-besarkan atau mengkatastrofikan mengacu pada kecenderungan untuk membuat gunung dari kerikil-kerikil, untuk membesar-besarkan pentingnya peristiwa-peristiwa negatif ketakutan atau kesalahan. Mengecilkan adalah suatu tipe dari distorsi kognitif dimana seorang memandan rendah kebaikan-kebaikannya.
g.                Penalaran emosional
Menginterpretasikan perasaan dan peristiwa berdasarkan emosi dan bukan pada pertimbangan-pertimbangan rasional berdasarkan bukti yang ada.
h.                Pernyataan-pernyataan keharusan
Menciptakan perintah personal atau self-commandments (keharusan-keharusan atau semesti-semesti). Dengan menciptakan harapan yang tidak realistis (musterbation) dapat menyebabkan seseorang menjadi depresi saat gagal mencapainya.
i.                  Memberi label dan salah melabel
Meletakkan label negatif pada diri sendiri dan orang lain.
j.                  Melakukan personalisasi
Kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa diri kita bertanggung jawab atas masalah dan perilaku orang lain.

2.            Terapi Kognitif
a.             Defenisi terapi Kognitif
Terdapat beberapa definisi terapi kognitif, antara lain:
a)             Terapi kognitif adalah suatu sistem psikoterapi yang didasarkan pada teori gangguan emosi (Beck, 1967).
b)            Terapi kognitif adalah serangkaian percobaan dan penyelidikan klinis (Kovacs & Beck, 1978; Blackburn, 1988)
c)             Terapi kognitif ialah teknik-teknik terapi yang dirumuskan dengan baik (Beck et al, 1979)
Terapi tersebut merupakan   suatu bentuk psikoterapi yang terstruktur yang bertujuan meredakan simtom-simtom penyakit dan membantu pasien agar dapat mempelajari cara-cara yang lebih efektif untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang menyebabkan penderitaan mereka. Bagian penting yang bersifat terapiutik dalam terapi kognitif berorientasi pada masalah dan diarahkan untuk memperbaiki masalah-masalah yang bersifat psikologis sekaligus situasional yang mungkin ikut menambah penderitaan pasien.

b.            Tujuan Terapi Kognitif
Tujuan terapi ini untuk mengoreksi pemrosesan informasi yang salah dan membantu pasien memodifikasi asumsi yang bersifat maladaptif pada level perilaku dan emosi. Terapis memberikan pertanyaan seputar makna, fungsi, ketidakbergunaan, dan konsenkuensi dari kepercayaan yang dimiliki pasien.
Selain itu menurut Retnowati (dalam Prawitasari, dkk, 2002) tujuan utama dari terapi kognitif adalah:
a)             membangkitkan pikiran-pikiran pasien, dialog internal dan intepretasi terhadap kejadian-kejadian yang dialami.
b)            Terapis bersama pasien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah intepretasi-intepretasi yang telah diambil.
c)             Menyusun desain eksperimen (pekerjaan rumah) untuk menguji validitas intepretasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi di dalam proses perlakuan terapiutik.

c.       Strategi Terapi Kognitif
Terdapat tiga konsep fundamental dalam strategi terapi kognitif, yaitu:
a)      Collaborative Empirisme
Dalam tahap ini, klien-terapis menjadi co-investigator dan menguji fakta yang dapat menunjang dalam menolak kognisi klien yang keliru.
b)            Socratic Dialogue
Bertanya adalah anjuran utama dalam proses terapeutik. Karena itu socrates dialogue adalah metode yang lebih sering digunakan. Tujuan dari pertanyaan yaitu (1) mengklarifikasi dan mendefinisikan persoalan, (2) membantu mengidentifikasikan pikiran, images, dan asumsi (3) menilai konsekuensi dari pikiran maladaptif bagi pikiran dan perilaku.
c)           Guide Discovery
Terapis memandu klien untuk memodifikasi keyakinan dan asumsi yang meladaptif. Klien-terapis secara bersama-sama merekam perkembangan gangguan yang dialami klien.
Normalnya terapi kognitif dibatasi antara 15-20 pertemuan (sessions) masing-masing membutuhkan waktu 50 menit, sekali seminggu. Untuk kasus-kasus depresi yang lebih parah perlu dua kali pertemuan setiap minggunya untuk 4-5 minggu pertama.
Perencanaan perlakukan terapeutik di dalam terapi kognitif secara dapat dilihat pada diagram di bawah ini.


1 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus