Nama : Nur Aeni Latifah
Nim : 45 07 091 008
Mata Kuliah : Kriminologi
Kasus Mutilasi
SEPANJANG 2008, tercatat banyak kasus pembunuhan dengan cara mutilasi. Antara lain, kasus mutilasi dengan tersangka Verry Idham Henryansyah alias Ryan (34) di wilayah hukum Polres Jakarta Selatan, dengan korban seorang laki-laki, Heri Santoso, yang dipotong tubuhnya menjadi tujuh bagian dan jasadnya dimasukkan ke dalam koper dan tas.
Selain itu, yang terjadi pada 17 Januari 2008 dengan korban Atikah Setyani, cewek hamil empat bulan yang dipenggal kekasihnya bernama Zaky di kamar Hotel Bulan Mas, Koja, Jakarta Utara. Lalu pada 17 Maret 2008, muncul kasus di Bekasi Timur, namun hingga sekarang belum terungkap, dengan korban wanita yang dipotong menjadi 10 bagian dan mayatnya dimasukkan dalam kardus, ditemukan di depan kantor Primkoti Margahayu.
Kita semua tentu sangat prihatin atas kejadian-kejadian tersebut, karena orang Indonesia yang dikenal ramah-tamah, punya sopan santun, dan sikap kekeluargaan yang tinggi, tega melakukan pembunuhan sadis. Melihat banyaknya kasus mutilasi tersebut, tentu dalam penanganannya harus jeli dan melihatnya dari berbagai aspek atau faktor.
Menurut kriminolog Prof Ronny Rahman Nitibaskara, dalam menyelesaikan kasus kejahatan kriminolog tidak mengenal faktor penyebab tunggal (single factor caution), tapi dijawab oleh aneka faktor(multiple factor caution). Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah dari aspek psikologi pelakunya.
Menurut teori psikoanalisis, tidak terpecahkannya konflik yang dihasilkan dalam trauma sejak masa kanak-kanak mengakibatkan ketidakteraturan kepribadian (mentaly disorder) dan tingkah laku agresif kepada seseorang. Apabila berbicara masalah perilaku yang agresif, kita tidak bisa lepas dari teori Freud, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai dua insting dasar: insting seksual dan insting agresif.
Insting seksual atau libido adalah insting yang mendorong manusia untuk mempertahankan hidup, mempertahankan jenis, dan melanjutkan keturunannya. Adapun insting agresif adalah insting yang mendorong manusia untuk menghancurkan manusia lain (Nitibaskara,1999).
Kemampuan Analisis
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai aparat penegak hukum seperti diamanahkan dalam Undang-Undang (UU) 2/2002, sudah seharusnya dapat menegakkan hukum sebagaimana mestinya secara adil.
Untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat yang sedang berurusan dengan hukum, seperti kasus mutilasi, Polri harus dapat melakukan tindakan, baik penyelidikan maupn penyidikan terhadap kasus tersebut.
Dalam melakukan tugasnya itu, Polri khususnya penyidik dibekali dengan kemampuan dan keterampilan penyidikan tindak, pidana baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di luar KUHP.
Dalam tataran itu, dibutuhkan suatu kemampuan melihat, mengidentifikasi, menganalisis, dan menangani kasus mutilasi dengan memperhatikan kondisi psikis atau kejiwaan pelakunya. Akan lebih optimal lagi apabila penyidik Polri bekerja sama dan berkoordinasi dengan psikiater dan psikolog dalam mendalami latar belakang atau penyebab pelaku melakukan tindak kejahatannya.
Dengan demikian, bantuan atau masukan dari psikiater dan psikolog menjadi pertimbangan bagi polisi. Untuk membantu proses penyelidikan dan penyidikan tersebut, penyidik Polri —selain memperoleh bantuan dari psikiater dan psikolog— dapat mudah menangani kasus mutilasi tersebut dengan dan atau dari (segi) ilmu psikologi forensik.
Fantasi Pelaku
Apabila mengambil contoh kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan. dengan bukti terakhir ditemukannya lima mayat oleh gabungan penyidik Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Timur baru-baru ini di rumah orang tuanya, menarik sekali kalau kita melihat dari kacamata psikologi forensik.
Menurut pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, pembunuhan berantai atau sadis (mutilasi), bagi pelakunya adalah untuk mendapatkan fantasi atau sensasi yang luar biasa dengan melihat korbannya meninggal atau detik-detik terakhir korban mengembuskan nafasnya (mati perlahan-lahan).
Bila dikaitkan dengan ilmu psikologi forensik, kasus mutilasi dengan tersangka Ryan —menurut Reza— tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual. Masyarakat awam dianggap terlalu berlebihan dalam menilai bila mengaitkan pelaku dengan homoseksual seorang Ryan. Psikopat, adalah sebutan dari masyarakat awam untuk pelaku mutilasi seperti Ryan itu.
Dari segi fisik, memang sosok Ryan tidak terlihat psikopat, karena sikap/tingkah laku yang ditampilkannya di masyarakat menunjukkan pribadi yang santun, biasa, dan cerdas. Hal tersebut membuat masyarakat terkecoh.
Menurut hipotesis atau dugaan Reza, tindakan sadis dengan mutilasi tersebut dilakukan dengan tahapan-tahapan untuk mencari tingkat fantasi yang maksimal (terpuaskan). Kalau merasa belum puas dengan tindakannya, pelaku akan mencari cara yang lebih sadis dan spektakuler (canggih).
Memang, kalau berbicara masalah faktor penyebab pelaku melakukan tindakan abnormal tersebut tidak terlepas dari beberapa faktor lain; di antaranya faktor pemicu (terjadinya sesaat, sebelum mutilasi tersebut dilakukan) dan faktor trauma yang mendalam atau peristiwa luar biasa (kekerasan) yang dialami pelaku semasa kecil dalam keluarga dan lingkungan. Trauma mendalam yang terjadi secara berulang-ulang, menyebabkan penumpukan beban, sehingga pelaku mempunyai sifat benci, keras, dan mudah tersinggung. Akibatnya, mudah melakukn tindakan sadis (mutilasi).
Kepribadian Ganda
Menurut pakar psikologi forensik dari AS, Dr Heirr, penelitian tentang sifat psikopat yang ada sangat minim sekali, sangat sulit, dan mustahil, karena pengidap psikopat dapat memiliki sifat itu dengan tindakan hubungan yang manipulatif dan tidak mudah dideteksi.
Hal tersebut disebabkan oleh karena sifat pengidap psikopat secara lahiriah atau fisik tidak tampak dari sikap yang hangat, cerdas, dan biasa tersebut. Indonesia sebagai negara yang mengalami krisis di semua bidang kehidupan, sangat kondusif memunculkan pemain-pemain tunggal pelaku psikopat, baik dengan kadar rendah maupun dengan kadar yang tinggi.
Dalam kaitan itu, pihak kepolisian dalam menangani kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan disarankan oleh pakar psikologi forensik Reza Indargiri Amriel melakukan beberapa tindakan. Di antaranya, dari kacamata psikologi, pihak kepolisian hendaknya meminta bantuan psikiater atau psikolog untuk mediagnosis secara mendalam dan komprehensif kejiwaan dari pelaku.
Psikologi sebagai suatu seni dapat menggunakan proffiling (jatidiri pelaku) dalam menyibak latar belakang pembunuhan pelaku dari sisi kejiwaan atau penyakit yang diderita. Lalu, polisi mencermati keterangan pelaku yang selalu berubah dengan kondisi psikologis seperti yang ada pada diri Ryan sekarang ini.
Selain itu, mencermati apakah pelaku sadar atau tidak saat membunuh korban. Mengecek kondisi psikologis pelaku, apakah memiliki kepribadian ganda dan gangguan kepribadian disosiatif atau tidak.
Mencermati modus operandi yang sama, yang dilakukan pelaku dalam menghabisi korban lainnya dan motif dari aksinya tersebut. Lalu juga lebih mencermati tanda tangan (signature) pelaku.
Tugas psikologi forensik mengungkap suatu kasus dalam penyelidikan dan penyidikan, tidak bisa dipisahkan.
Berkait dengan kasus mutilasi tersebut, dapat kita identifikasi pelakunya: apakah mengidap kelainan kepribadian (psikopat) atau tidak. Juga memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan sadis (mutilasi) yang terjadi di Bekasi Timur, yang belum terungkap, sehingga polisi dapat lebih memfokuskan usaha pencarian pelaku tindak kejahatan tersebut.
Adapun tugas psikologi forensik di dalam penyidikan, menurut psikolog Yusti Probowati, adalah mengetahui kondisi psikologis tersangka melalui proses asesmen mental tersangka. Yaitu, mendeteksi ada tidaknya keterbatasan intelektual terdakwa.
Psikolog mendeteksi kondisi intelektualitas tersangka tindak pidana, dalam rangka memperlancar proses
penyidikan kepolisian.
Melakukan asesmen kondisi berisiko dan berbahaya dari tersangka, agar psikolog mendapatkan gambaran kemungkinan adanya kondisi berisiko dan berbahaya dari tersangka selama dalam proses penyidikan kepolisian.
Melakukan asesmen kompetensi mental tersangka(competency/insanity), dengan tujuan untuk mendeteksi
apakah tersangka memiliki kompetensi mental (sakit jiwa) atau tidak.
Mendeteksi kondisi sobriety (uji ini untuk mendukung kecurigaan polisi saat interogasi, apakah pelaku dipengaruhi oleh obat-obatan atau tidak; dan apa pun hasil pemeriksaannya tidak dihentikan. Selain itu,
membantu mendapatkan keterangan tentang motivasi tersangka yang sebenarnya. Mendeteksi adanya malingering padat tersangka.
( http://suaramerdeka.com/v1.php/reat/cetak/2008/08/31.diakses/2010/05/13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar