Perkembangan konsep diri

Perkembangan konsep diri

Konsep diri ini berkenan dengan perasaan dan pemikiran kita mengenai diri kita sendiri, karena atas penilaian sendiri maupun penilaian dari lingkungan sosial kita. Misalnya kalau kita enggak puas terhadap kondisi fisik, maka konsep diri menjadi buruk. Hal ini membuat kita merasa rendah diri. Begitu pula sebaliknya, konsep diri positif bila kita menilai fisik kita menarik dan sesuai dengan yang diinginkan. Kalau kita dinilai oleh orang lain, misalnya sebagai remaja yang bisa gaul, pandai dan hal-hal yang positif lainnya, maka semangat positif itu dapat meningkatkan konsep diri dan ke-PD-an kita.

Salah satu ciri dari perkembangan konsep diri kita sebagai remaja ialah cenderung negatif antara lain karena berkembangnya fisik yang cukup drastis, kadang juga kurang proporsional (badan memanjang tapi kurus, bulat gemuk, dan sebagainya), merasa selalu diperhatikan orang lain atau menjadi pusat perhatian orang lain, memiliki aspirasi yang tinggi tentang segala hal.

Masalah Remaja
Banyak orang menganggap bahwa masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan tapi sekaligus juga paling membingungkan. Masa dimana seseorang mulai memikirkan tentang cita-cita, harapan, dan keinginan-keinginannya. Namun juga masa yang membingungkan, karena ia mulai menyadari masalah-masalah yang muncul ketika ia mencoba untuk mengintegrasikan antara keinginan diri dan keinginan orang-orang di sekitarnya.
Pada saat inilah orangtua memiliki peranan yang sangat penting untuk menolong anak remajanya, supaya mereka tidak salah jalan. Tetapi tidak dapat dipungkiri kalau pada saat yang sama orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang dialami remaja,baik secara fisik maupun psikis. Oleh karena itu orangtua perlu melakukan pendekatan-pendekatan yang tepat agar dapat mengerti dan memahami masalah anak remajanya. Jika tidak maka hal ini akan menyebabkan banyak kesalahpahaman di antara mereka.
Bagaimana menjaga hubungan yang harmonis antara orangtua dengan anak-anaknya yang menginjak usia remaja? Bagaimana orangtua dapat menolong anak-anak remajanya untuk mengenal diri lebih baik?
Tentunya kita perlu mengetahui tentang keunikan usia remaja ini.Nah, e-Konsel edisi kali ini akan memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.



Dalam bukunya, "Helping The Struggling Adolescent", Les Parrot III
menguraikan konsep diri remaja yang terdiri dari empat aspek.
ASPEK PERTAMA adalah DIRI SUBJEKTIF, yaitu pandangan pribadi remaja tentang siapakah dirinya. Ada remaja yang menilai dirinya tampan,tapi ada pula yang menganggap dirinya tidak menarik. Ada remaja yang melihat dirinya supel, namun ada pula yang "kuper" (alias kurang pergaulan). Konsep diri subjektif bersumber dari penilaian orangtua,
guru, dan teman yang telah menjadi konsep diri si remaja.
ASPEK KEDUA ialah DIRI OBJEKTIF, yakni pandangan orang lain tentang diri si remaja. Pandangan orang lain bersifat mandiri dan beragam,
dalam arti pandangan ini merupakan pandangan pribadi seseorang tentang si remaja dan pandangan tiap orang tidak harus sama dengan yang lainnya. Si remaja mungkin berpikir bahwa ia adalah seseorang yang ramah dan ringan tangan (diri subjektif), namun beberapa temannya menganggap bahwa ia adalah seseorang yang mau tahu urusan
orang lain (diri objektif).
ASPEK KETIGA ialah DIRI SOSIAL, yaitu pandangan si remaja akan dirinya berdasarkan pemikirannya tentang pandangan orang lain terhadap dirinya. Di sini si remaja melihat dirinya dengan menggunakan kacamata orang lain. Ia mereka-reka apa penilaian orang lain terhadap dirinya dan sudah tentu rekaan ini dapat tepat tapi dapat pula keliru. Ia mungkin menganggap bahwa orang lain melihatnya
sebagai seseorang yang berani (diri sosial) namun dalam kenyataannya beberapa temannya memandangnya sebagai seseorang yang kurang ajar(diri objektif). Ia sendiri mungkin menilai dirinya bukan sebagai
seseorang yang berani melainkan sekadar sebagai pembela keadilan(diri subjektif).
ASPEK KEEMPAT adalah DIRI IDEAL, yakni sosok dirinya yang paling ia dambakan atau ia cita-citakan. Diri ideal adalah diri yang belum
terjadi atau terbentuk sehingga si remaja terus berusaha mencapainya. Ia mungkin melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak stabil (diri subjektif), oleh karena itu ia senantiasa berupaya menjadi seseorang yang sabar (diri ideal).
Menurut hemat saya, aspek yang paling berpotensi menimbulkan masalah bagi remaja dari keempat konsep diri ini, adalah diri sosial. Kita
semua pasti pernah bertanya-tanya, apa penilaian orang lain terhadap diri kita. Pada diri remaja, pertanyaan semacam ini amatlah penting karena ia sangat bergantung pada penilaian orang lain, terutama teman-temannya. Pada remaja, konflik antara diri subjektif dan diri sosial mudah terjadi. Misalnya, pada awalnya si remaja berpikir bahwa ia adalah seorang yang alim (positif) karena orangtuanya kerap kali memujinya sebagai seorang anak yang alim. Ia sendiri menyadari bahwa ia jarang sekali melawan kehendak orangtuanya dan ia tidak pernah menerima teguran keras dari gurunya. Ia berkeyakinan bahwa
menjadi anak yang alim adalah suatu hal yang baik.
Masalah mulai timbul tatkala ia memasuki usia remaja, di mana ia mulai menyadari bahwa anak yang nakal mendapatkan hormat dari teman-
teman karena dianggap berani. Sebaliknya, anak yang alim justru terlupakan dan tidak menerima hormat dari teman-teman karena dianggap pengecut. Akibatnya, ia pun berpandangan bahwa teman-
temannya justru menganggap kealiman dia sebagai tanda bahwa ia adalah seseorang yang penakut(negatif). Dengan kata lain, hal yang
positif di rumah merupakan hal yang negatif di luar rumah. Di rumah ia dihargai, di luar rumah ia diremehkan. Sungguh bukan suatu pilihan yang mudah.
Sering kali remaja mengalami tekanan yang timbul dari konflik seperti ini. Tekanan ini semakin bertambah karena ia merasa tidakdapat menyampaikan persoalan yang dihadapinya, baik kepada sesame teman maupun kepada orangtua. Dalam kesendiriannya itu, ia dapat menjadi murung dan mengurung diri. Ia tidak tahu apa yang harus ia
perbuat. Menjadi nakal berarti melanggar hati nurani dan keyakinannya tentang siapa dia sebenarnya serta membuat orangtuanya marah. Sebaliknya, tetap alim berarti terkucil dan hilang dari peredaran.
Ada satu saran yang dapat saya ajukan kepada para orangtua remaja yakni, komunikasikanlah pemahaman kita akan pergumulan yang sedang
ia hadapi dan pilihan-pilihan yang sulit yang harus ia putuskan.
Tidak ada perasaan yang lebih menyegarkan jiwa dan melegakan kalbu daripada merasa dimengerti. Perasaan dimengerti membuat remaja melihat dirinya dengan perspektif yang seimbang: bahwa ia bukanlah seseorang yang aneh. Katakan kepadanya, bahwa kita memahami kesulitannya mempertahankan kealimannya. Sampaikan kepadanya, bahwa kita mengerti keinginannya untuk dikenal sebagai seseorang yang pemberani, bukan pengecut. Komunikasikan kepadanya, bahwa kita mengerti keinginannya untuk dihargai sesama teman, bukan diremehkan.
Sewaktu saya SMA, orangtua saya memiliki dua mobil, yang satu tua,yang satu relatif lebih baru. Saat itu kami tidak ada sopir sehingga saya terpaksa mengantarkan adik-adik ke sekolah dan setelah itu saya mengendarai mobil ke sekolah saya. Biasanya saya menggunakan mobil yang tua, sedangkan ayah saya mengendarai yang lebih baru.
Sesungguhnya saya merasa enggan sekali menggunakan mobil yang tua itu sebab saya malu dengan teman-teman. Pada umumnya mereka bermotor, bermobil baru, atau naik bus, namun tidak ada yang mengendarai mobil tua (menurut pengamatan saya). Jadi, pada pagi hari saya senantiasa berupaya mengendarai mobil yang lebih baru dan
rupanya ayah saya mencium keengganan saya itu.
Pada suatu hari ia berbicara kepada saya dengan nada yang penuh kerendahan hati dan menjelaskan bahwa sebetulnya ia tidak keberatan mengendarai mobil yang tua itu kalau bukan karena tuntutan
kariernya. Ia mengatakan bahwa ia menyadari bahwa saya lebih menyukai memakai mobil yang lebih baru itu. Perkataannya yang penuh pengertian sangat menyentuh hati saya dan saya merasa malu karena
telah mementingkan diri seperti itu. Pada saat itu saya menerima perkataan ayah saya karena ia tidak memarahi saya sebagai anak yang tidak dewasa atau yang terlalu mementingkan gengsi. Sebaliknya, ia mengkomunikasikan pengertiannya akan pergumulan pribadi yang saya alami sebagai remaja, yakni ingin dihargai teman (dengan cara
mengendarai mobil yang lebih baru).
Bagi saya, dan juga bagi banyak remaja, pengertian semacam inilah yang amat dibutuhkan. Suatu pengertian bahwa mereka tetaplah pohon
yang sama namun dengan dikerumuni oleh pohon-pohon lainnya, sehingga adakalanya buah mereka tercampur dengan buah-buah dari pohon yang
lain. Mereka tetaplah pohon mangga yang akan menghasilkan buah mangga dan pohon jeruk yang akan menghasilkan buah jeruk.
Masa remaja memang masa yang menyenangkan sekaligus masa yang tersulit dalam hidup seseorang. Di masa ini seorang anak mulai
mencari jati diri mereka. Permasalahan yang sering timbul biasanya seputar hubungan mereka dengan orangtua. Bagaimanakah sikap yang
tepat dari orangtua dan anak dalam masalah ini, apa yang harus mereka lakukan, dan bagaimana tanggung jawab mereka?
T : Bagaimana hubungan antara orangtua dan remaja sehingga
kadang menimbulkan masalah-masalah di antara remaja?

J : Dr. James Dobson, pakar konseling kristen di Amerika Serikat yang dikenal dengan sindikat radionya 'Fokus on the Family',pernah berujar bahwa tidak ada jaminan bahwa orangtua yang baik akan menghasilkan anak yang baik. Maksudnya adalah akan ada kasus di mana anak-anak akan memilih jalan yang keliru meskipun mereka dibesarkan dalam rumah tangga yang solid, yang baik, yang mengasihi mereka, yang mendidik mereka dengan sehat. Contohnya perumpamaan Tuhan Yesus tentang anak yang hilang, di situ kita melihat bahwa si ayah mempunyai dua anak dan dia membesarkan anaknya dengan baik tapi si anak bungsu pada waktu sudah menginjak usia remaja atau dewasa memutuskan untuk keluar dari rumah dan hidup sesuai dengan keinginannya sendiri dan lepas dari bimbingan orangtuanya.
Jadi tidak tepat kalau kita mempersalahkan orangtua untuk semua masalah yang dihadapi oleh para remaja. Tetapi saya juga harus menekankan bahwa anak-anak adalah produk langsung dari orangtua,dan bukan produk langsung dari pendidikan atau sekolah atau gereja. Tanggung jawab untuk membesarkan anak diletakkan pada pundak orangtua, bukan pada para pendidik di sekolah maupun pada rohaniwan di gereja. Jadi kita juga harus mengakui bahwa kehidupan dan cara orangtua membesarkan anak benar-benarberdampak besar sekali pada perkembangan anak remaja kita,
karena orangtua sebetulnya adalah contoh atau model hidup bagi si anak. Maksudnya, banyak hal-hal kecil yang tanpa disadari disampaikan kepada anak melalui gaya hidup atau interaksi
orangtua dan anak. Kita pun sebagai orang dewasa sekarang akan bisa mengakui bahwa kita dibesarkan di rumah yang tidak sempurna karena orangtua kita pun tidak sempurna. Ada hal-hal tentang
orangtua kita yang kurang begitu baik tidak kita terima, tidak kita adopsi tetapi hal-hal yang baik dari orangtua kita, yang kita adopsi. Tapi tidak bisa kita sangkali pula bahwa akhirnya cukup banyak hal-hal yang tidak sempat kita pikirkan, apakah itu baik atau tidak, namun sudah telanjur kita serap, kita masukkan menjadi bagian dalam hidup kita. Nah, itulah yang pada akhirnya
mempengaruhi masa pertumbuhan anak itu.
-----
T : Memang harus diakui seringkali orangtua berlaku tidak konsisten menghadapi anak remajanya. Sering kita dengar orangtua berkata kepada anaknya agar jangan mencontohnya dalam hal yang jelek,yang baik-baik saja yang dicontoh. Bagaimana dengan pernyataan seperti itu?
J : Kalau contoh yang jelek itu tidak parah, anak akan memaafkan artinya anak akan menerima. Tapi kalau contoh yang jelek itu kebetulan sangat jelek, anak sukar memaafkan, misalnya si ayah
kalau marah memukuli anak habis-habisan kemudian setelah memukuli, melihat anaknya menangis kesakitan, ayah akan berkata: "Maaf saya tadi khilaf, saya harap engkau memaafkan ayah dan
nanti kalau sudah dewasa engkau jangan mengikuti sifat ayah yang pemarah ini." Kalau hal itu terjadi berulang kali. Saya duga apa yang orangtua katakan tadi justru akan membuat si anak tambah marah, tambah membenci orangtuanya sebab bagi si anak pernyataan seperti itu hanyalah basa-basi, tidak ada bobot kesungguhannya atau ketulusannya.
Tetapi kalau kalau kesalahan yang sederhana, misalnya, kadang-kadang si ayah terlambat mengantar atau menjemput anaknya, dia
berkata: "Aduh, engkau jangan ikuti sifat ayah yang suka terlambat ini." Hal kecil seperti itu oleh anak akan dimaafkan dan dilupakan.
-----
T : Apa tanggung jawab remaja dalam hal ini?
J : Pertanyaan yang bagus. Kita tidak bisa menimpakan semua kesalahan pada orangtua sebab orangtua adalah manusia biasa yang tidak sempurna. Jadi saya pikir anak remaja perlu menyadari
bahwa orangtua sebetulnya tidak selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk membesarkan anak, gaya mengorangtuai yang paling sehat atau cara berkomunikasi yang paling cocok dengan anak-anak
remaja. Jadi anak remaja saya himbau untuk menerima orangtua sebagai manusia yang tidak sempurna, selain itu anak remaja juga perlu menyadari bahwa orangtua acapkali mengambil tindakan yang tidak disukai oleh anak remaja karena ketakutan orangtua akan terjadi musibah, salah langkah, salah bertindak yang dilakukan oleh anak mereka sehingga berakibat fatal. Saya ingin sampaikan Firman Tuhan yang saya ambil dari Amsal 23:22-25,
"Dengarkanlah ayahmu yang memperanakkan engkau, dan janganlah menghina ibumu kalau ia sudah tua. Belilah kebenaran dan jangan menjualnya; demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian. Ayah seorang yang benar akan bersorak-sorak; yang memperanakkan orang-orang yang bijak akan bersukacita karena dia. Biarlah ayahmu dan ibumu bersukacita, biarlah beria-ria dia yang melahirkan engkau." Ini nasihat dari Firman Tuhan, anak remaja belilah kebenaran meski orangtua mungkin kurang benar tapi engkau bertanggung jawab untuk hidup benar sesuai dengan yang sudah Tuhan tunjukkan kepadamu. Juga Firman Tuhan berkata: "demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian", hikmat dan didikan Tuhan serta
pengertian itu jangan kita tinggalkan dan di sini ditutup dengan ayah seorang yang benar, artinya jikalau engkau anak remaja yang benar, hidup dalam kebenaran Tuhan, yang akan bersorak-sorai
adalah orang tuamu. Firman Tuhan menutup dengan berkata bahwa bagi yang memperanakkan orang-orang yang bijak akan bersukacita karena dia. Biarlah engkau anak remaja jadi orang yang bijak,
berhikmat memilih yang benar demi Tuhan karena engkau pun bertanggung jawab langsung kepada Tuhan. Engkau tidak bisa mempersalahkan orangtuamu untuk keputusan-keputusan yang berdosa
yang engkau ambil, kelak engkau harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan Yesus dan itu harus kau ingat, anak remaja.

-*- PERTENTANGAN ANTARA ORANGTUA DAN REMAJA -*-
LATAR BELAKANG
==============
Dalam zaman elektronik serba cepat ini, anak-anak tumbuh lebih cepat dan ingin bebas lebih awal dibandingkan yang dulu dialami oleh orang
tua mereka. Banyak orangtua yang merasa sulit mengikuti perubahan-perubahan kilat yang dialami anak-anak mereka, dan sebagai akibatnya, terjadilah pertentangan.
Rasanya, tadinya si anak masih dalam pelukan orangtuanya, kemudian mulai sekolah, mengajak teman-temannya main di rumah, membantu
urusan rumah tangga, masuk Pramuka – pokoknya anak yang manis!
Kemudian, tiba-tiba, semuanya berubah! Dia mulai membantah, melawan
dan melanggar peraturan, kadang-kadang merengut dan tidak komunikatif. Masa remaja sudah tiba, situasi tak lagi dapat dikendalikan oleh orangtua.
Ada banyak wilayah pertentangan; teman-teman mereka (banyak yang tak dapat kita setujui), cara berhias, kencan, tugas-tugas rumah, uangsaku, penggunaan kendaraan, sekolah dan pekerjaan rumah, disiplin;adalah sebagian kecil saja dari tumpukan masalah yang timbul.
Muncullah rintangan komunikasi. Orangtua merasa sulit berbicara dengan anak-anak mereka. Mereka menunda penjelasan tentang perubahan-
perubahan mental dan jasmani yang menentukan, terutama dalam wilayah seks dan reproduksi. Orangtua memperketat kontrol, remaja
meningkatkan pula perlawanan mereka untuk mendapat kebebasan. Jurang melebar, mereka bersikap bermusuhan -- mulailah perang.

5. Orangtua harus membuat peraturan-peraturan rumah tangga yang wajar, beralasan dan dapat dilaksanakan. Sikap hormat dipelajari anak sementara dia memberi tanggapan positif terhadap wibawa.Berusahalah bersikap seluas mungkin, terutama terhadap hal-hal yang menyangkut identitas, kebebasan dan harga diri mereka. Para
remaja membutuhkan banyak dukungan dan dorongan. Pertentangan tidak pernah dapat diselesaikan dengan argumen atau pertengkaran.
6. Teladan dan kemantapan orangtua sangat mempengaruhi anak-anak mereka. Pernikahan yang baik dan bahagia, jauh lebih membantu anak-anak muda untuk siap menghadapi kehidupan, daripada
peraturan-peraturan dan pengawasan. Ciri-ciri Kristen seperti kasih, kesabaran, pengertian, dukungan dan kepercayaan, yang diungkapkan secara tetap, akan menjadi dasar kekuatan yang dibutuhkan para remaja dalam menghadapi tekanan dan masa-masa perubahan. Kepercayaan orangtua tidak boleh dipisahkan dari pengalaman dan tindakan nyata, terutama dalam keluarga.
7. Komunikasi yang erat dengan remaja, akan banyak membantu kita menghindarkan konflik. Itu berarti, bukan saja kita perlu bercakap secara bermakna, tetapi juga meluangkan waktu yang bermutu bersamanya. Perhatian pribadi ini akan menciptakan citra diri yang positif serta menggalang persaudaraan dalam keluarga. Jangan takut mengungkapkan kasih sayang secara fisik. Pelukan bapak dan ciuman ibu, sangat membantu pembentukan kesan bahwa anak diterima dan dikasihi
Di era yang moderen ini sangatlah penting bagi seorang remaja untuk memahami maupun mengenal konsep diri. Karena melalui pemahaman terhadap konsep diri, seorang remaja dapat menegnal siapa dirinya yang sebernarnya, seperti apakah dia, dan bagaimana cara dia menjaga diri serta memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. Menurut C.J Rogers konsep diri adalah merupakan gambaran tentang diri sendiri sejauh evaluasi terhadap gambaran tersebut. Sedangkan menurut Hurlock, E.B, konsep diri merupakan jumlah total dari ide-ide atau gagasan-gagasan tentang apa dan siapa dia.
Dalam kehidupan nyata, konsep diri dapat digolongkan menjadi beberapa golongan. Penggolongan pertama adalah konsep diri riel yaitu konsep diri yang memandang diri sendiri seperti adanya. Penggolongan yang ke-dua adalah konsep diri ideal, konsep yang satu ini memandang diri sendiri seperti yang dicita-citakan. Saat ini konsep seperti ini begitu menjamur di kalangan muda terutama pada pergaulan remaja, misalkan saja seorang remaja begitu menuntut gambaran seorang remaja yang disebut ”gaul”. Seperti apakah gambaran ”remaja yang gaul” di mata para remaja saat ini? , tentulah bermacam-macam. Dan gambaran-gambaran tersebut saat ini sangat dicita-citakan oleh sebagian remaja Indonesia saat ini, mulai dari remaja yang desa hingga remaja perkotaan.
Golongan yang ketiga adalah konsep diri Patologis, konsep ini sering disebut-sebut sebagai konsep diri yang sakit. Konsep ini juga membahayakan bagi remaja khususnya. Banyak remaja menghayalkan untuk dapat melakukan sesuatu, tetapi kebanyakan remaja tidak berusaha merealisasikan apa yang telah ia khayalkan. Sehingga dalam konsep diri yang satu ini, si pengkhayal tidak berani untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah ia khayalkan itu, alias malas untuk melakukan sesuatu tetapi ingin mencapai yang diimpikan.
Konsep diri dapat juga dipandang dari berbagai sumber si pengkonsep. Konsep diri yang pertama disebut sebagai konsep diri subjektif. Konsep diri subjektif adalah melihat tentang diri sendiri. Konsep diri Objektif adalah bagaimana orang lain memandang diri seseorang. Sedangkan gabungan dari keduanya akan membentuk suatu struktur konsep diri (selft concept structure). Self concept structure inilah yang dibutuhkan sesorang agar dapat membangun diri menjadi lebih baik.
PENTINGNYA KONSEP DIRI® BAGI REMAJA
Oleh : Penggalih Mahardika H
(dikutip dari buku Genius Learning Strategy, Adi W Gunawan)
sumber:http://sibermedik.wordpress.com/2007/07/20/konsep-diri-file-pengembangan-kepribadian/#more-27
Sejenak mungkin kita akan bertanya apa itu Konsep Diri? Apa esensinya? Kegunaannya apa?dan banyak lagi pertanyaan yang mungkin terlontar tentang judul diatas. Sebelum pertanyaan tersebut dijawab, mungkin kita perlu sejenak membayangkan kondisi berikut.
Seandainya anda memiliki sebuah DeskTop PC (Personal Computer) dengan spesifikasi PENTIUM IV 3 Ghz, HardDisk 40 GB, DDRAM 256 MB, CDRW 52×36×48, SoundCard Yamaha, VGA GeForce, OS MS Windows XP Pro, dan berbagai komponen yang mutakhir lainnya. Lalu andaikan OS (Operating System) yang anda gunakan untuk PC tadi adalah MS DOS 3.0 bukan Windows XP apa yang terjadi pada PC tersebut?
Ada 2 kemungkinan, yang pertama mungkin PC anda tidak mau jalan karena OS yang anda gunakan sudah ketinggalan jaman. Yang kedua, PC anda jalan tapi tidak bekerja optimal sehingga keunggulan komponen-komponen tidak dapat dirasakan.
Nah, itulah konsep diri. Konsep diri adalah Operating System bagi NeckTop PC, yaitu Sistem Persyarafan tubuh kita. Kita ini merupakan sebuah komputer yang paling canggih tetapi tanyakan pada diri kita, “Apa kita sudah sering meng-upgrade konsep diri kita?”
Komponen Konsep Diri. Konsep diri memiliki 3 komponen yang sangat penting karena akan mempengaruhi hidup kita mulai saat kecil hingga sekarang, komponen tersebut antara lain :
1. Diri Ideal.Dalam konteks dunia pendidikan, diri ideal yang sering ditetapkan orangtua adalah anak harus mendapat nilai sempurna (100 atau A). dalam setiap ujian
2. Citra Diri.Anda akan selalu bertindak atau bersikap sesuai dengan gambar yang muncul dalam cermin/citra diri anda.
3. Harga Diri.Semakin anda menyukai diri anda, menerima diri anda, & hormat pada diri anda sendiri sebagai seorang yang berharga & bermakna, maka semakin tinggi harga diri anda.
Kesimpulannya dapat dimisalkan sebagai berikut : Orangtua anda menetapkan diri ideal anda harus mendapat nilai 100 untuk ulangan Matematika, tetapi anda hanya dapat nilai 60 (Citra diri). Yang terjadi sekarang adalah diri ideal tidak sejalan dengan citra diri.Ini sudah pasti akan berpengaruh pada harga diri anda.
Bagaimana Konsep Diri Terbentuk.
Bangunan konsep diri itu seperti meja, dimana terdapat kaki-kaki penyokongnya. Yang sangat berperan dalam “Meja” tersebut antara lain :
1. Siapa yang memasang kaki tersebut?Pertama Orangtua dan setelah itu Guru
2. Seberapa intensitas emosi yang timbul saat itu?Sedih,malu,bahagia,bangga,dll
3. Repetisi.Semakin sering, berarti semakin kuat kaki yang terpasang.
Kita akan lihat bagaimana terbentuk “meja” tadi lewat kisah berikut :
Saat anda masih kecil anda tidak sengaja memecahkan gelas lalu ibu anda mengatakan. “Anak bodoh, masak mbawa gelas aja gak becus!”.Otomatis “meja” anda berbentuk

Lalu saat sekolah anda mendapat nilai jelek sehingga bentuk meja menjadi:

Berbeda kisahnya seandainya saat memecahkan gelas, ibu anda mengatakan “Kamu tidak apa-apa Nak?Lain kali hati-hati ya..”. Dan saat ujian orangtua anda menghargai nilai anda, maka meja akan berbentuk

Dari kisah diatas dapat anda lihat efek yang akan terjadi apabila konsep diri yang kita miliki adalah salah satu meja diatas, bisa jadi positif bahkan mungkin negatif.
Mengubah dan meningkatkan konsep diri
Sangat tidak pantas sekali jika kita langsung menyalahkan orangtua atau guru yang dimasa lalu telah membentuk konsep diri anda menjadi “Saya Bodoh”. Kita sudah dewasa, jadi kita harus merubahnya sendiri.
Bagaimana caranya? Caranya sebagai berikut :
1. Kisah Sukses: Berupa kejadian, peristiwa, pengalaman, atau apa saja yang pernah anda alamidalam hidup yang dirasa istimewa. Kisah sukses ini harus anda tulis diatas kertas, tulislah kisah sukses terkini lalu mundur lagi, terus mundur sampai saat anda masih kecil, sampai kisah sukses paling lama yang bisa anda ingat. Ini akan membantu diri agar memberi self-talk positif dan menghentikan self-talk negatif disaat mengalami kegagalan.
2. Simbol Sukses: Bentuknya dapat berupa Trofi, sertifikat ijazah, surat penghargaan, lencana, foto, tanda tangan orang yg dikagumi, rekaman video, kaset, dll.Simbol sukses ini sebagai Reminder (pengingat) akan keberhasilan yang pernah kita raih. Kisah & simbol sukses ini dapat memperkuat kaki “meja” konsep diri anda.
3. Afirmasi Positif: Siapakah orang yang paling anda percayai pendapatnya di dunia ini ?Tentu saja anda sendiri. Maka dari itu tanamkan pada diri kita benih kepercayaan diri dengan ucapan-ucapan positif (Afirmasi Positif). Afirmasi Positif dapat dibuat dgn benar, yakni :
• a. Harus Positif.Jangan gunakan kalimat, “Saya tidak bodoh!” tapi gunakanlah kalimat, “Saya cerdas dan terampil!”
• b. Menggunakan kalimat waktu sekarang.Jangan menggunakan kalimat, “ Besok saya akan rajin belajar,” tapi gunakan kalimat,”Saya adalah murid yang rajin belajar.”
• c. Bersifat pribadi.Gunakan kata “saya”Misalnya,”Saya murid yang pintar dan….”
• d. Persisten.Lakukan selama 21 hari non-stop.
• e. Dengan hasrat dan antusiasme yang besar.Libatkan emosi anda saat mengucapkan kalimat afirmasi anda.
4. Visualisasi Multi SensoriAgar dapat melakukan cara ini, anda harus masuk dalam kondisi alfa(kondisi di saat anda ingin tidur sehingga terasa rileks dan agak “fly”).Setelah masuk kondisi alfa, lakukan langkah-langkah untuk melakukan visualisasi multi sensori, yakni :

o 1. Tuliskan semua hal-hal positif seperti sikap, kepribadian, karakter, integritas, atau apa sajayang anda perlu ada dalam diri anda yang sukses.
o 2. Masuklah ke dalam kondisi alfa.
o 3. Saat kondisi alfa, gunakan mata pikiran untuk melihat diri sendiri yang telah sukses lengkap dengan semua hal positif yang telah anda tuliskan. Lihatlah diri anda yang sedang menerima ucapan selamat dan pandangan hormat & kagum dari orang sekitar anda.Setelah elihat diri anda, coba rasakan perasaan anda saat itu?Masuk lebih dalam dan nikmati! Saat melihat & merasakan hal tersebut, suara apa yang muncul dalam benak anda?apa yang anda katakan mengenai diri anda sendiri? (Lakukan selama 10 menit)
o 4. Setelah itu, buka mata perlahan-lahan, gerakkan ujung jari anda. Jangan langsung bergerak!Resapi perasaan sukses yang sedang anda rasakan.
5. Goal SettingPada saat anda mulai bisa melihat diri anda sebagai pribadi yang kompetenpada saat itulsh konsep diri mulai berubah. Lalu bagaimana cara membuat & menggunakan goal setting untuk meningkatkan konsep diri? Caranya sebagai berikut ;

o 1. Tentukan & putuskan apa yang anda inginkan (tujuan) sejelas-jelasnya.
o 2. Tuliskan di selembar kertas (jangan hanya diingat.
o 3. Tetapkan tenggat waktunya, kapan goal harus tercapai.
o 4. Uraikan goal itu menjadi sub-goal yang terukur & terarah.
o 5. Buat daftar tindakan yang harus anda lakukan untuk mencapai tujuan.
o 6. Atur daftar tindakan anda menjadi suatu perencanaan-tuliskan di atas kertas.
o 7. Lakuakan tindakan!
o 8. Lakukan sesuatu yang relevan setiap hari yang membawa dekat dengan tujuan
o 9. Tinjaulah setiap hari.
o 10. Rencanakan setiap tindakan yang akan dilakukan (sehari sebelumnya).
o 11. Tetapkan prioritas dengan A,B,C,D,&E.
o

 A=Sangat pentingàkalau tidak dilakukan, mendatangkan akibat serius.
 B=Perlu dilakukan àBila tidak, mengakibatkan efek negatif yang tidak terlalu berat.
 C= Baik untuk dikerjakanàTidak ada akibat negatif (Nonton, ngobrol,dll).
 D=Delegasikan/out-sourceBebaskan waktu anda.
 E=EliminateAbaikan saja.
KONSEP DIRI REMAJA DALAM PENGAKTUALISASIAN
KEMAMPUAN POTENSIALNYA
Oleh : Ice Sutari
Abstrak :
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Yangmenjadi sumber data penelitian ini adalah siswa SMAN 15 Bandung dan siswa SMAN 1 Lembang, berusia antara 15-18 tahun. Teknik pengumpulan datanya menggunakan angket.
Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa pada umumnya konsep dari para remaja yang menjadi responden positif dan mengembirakan. Pada umumnya, persepsi mereka tentang karakteristik dirinya adalah mudah bergaul, pemberani, dan percaya diri. Mereka pun yakin akan kemampuan diri mereka yang ditunjukkan dengan sikap optimis mereka terhadap masa depan, akan selalu berupaya mencari peluangmelanjutkan studi, memiliki cita-cita yang meliputi berbagai profesi, dari mulai dokter, pilot, polisi, pengusaha, PNS, direktur, dll. Adapun pandangan mereka terhadap lingkungan, lingkungan bukan sesuatu yang perlu dihindari, mereka pada umumnya memandang lingkungan secara positif. Persepsi mereka menunjukkan bahwa cenderung kolaboratif terhadap lingkungan, yang ditunjukkan dengan kesiapan dan kesediaan para responden bekerja sana dengan siapa saja.

Rehabilitasi Psikososial Efektif Tingkatkan Konsep Diri Remaja Cacat Fisik
Pada umumnya, remaja dengan cacat fisik memiliki permasalahan yang terkait dengan konsep/kepercayaan diri dan kemandirian yang rendah. Hal tersebut disebabkan salah satunya oleh masih adanya diskriminasi dalam masyarakat terhadap penyandang cacat fisik. Diskriminasi menjadi kendala bagi mereka dalam proses penyesuaian diri untuk berperan aktif di masyarakat dan lingkungan. Untuk mengatasi persoalan itu, remaja cacat fisik seharusnya menerima pembinaan psikososial agar menjadi pribadi yang matang.
"Layanan rehabilitasi penyesuaian sosial/psikososial terbukti efektif untuk meningkatkan konsep diri, kemandirian, dan penyesuaian diri remaja cacat fisik," kata Dra. Fransisca Iriani Roesmala Dewi, M.Si., staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara saat ujian promosi doktor di Fakultas Psikologi UGM , Kamis (9/7).
Di hadapan para penguji, Prof. Dr. Bimo Walgito selaku promotor, Prof. Dr. M. Enoch Markum dan Prof. Th. Dicky Hastjarjo, Ph.D. sebagai ko-promotor, Fransisca menuturkan bahwa program rehabilitasi psikososial dijadikan prioritas utama dalam upaya proses integrasi sosial, peran sosial yang aktif, dan peningkatan kualitas hidup remaja cacat fisik. Di samping itu, rehabilitasi psikososial juga memberikan kesempatan yang luas untuk magang dalam dunia kerja.
Hingga saat ini, lanjut wanita kelahiran Bojonegoro, 7 April 1962 ini, kebijakan pemerintah terkesan timpang dan masih menganggap remaja cacat fisik berada pada posisi marjinal. Padahal, remaja cacat fisik merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang juga memiliki hak sama atas kehidupan bernegara dan bermasyarakat karena konstitusi tidak mengenal diskriminasi. Marjinalisasi terjadi akibat rendahnya aksesibilitas di berbagai bidang, seperti pendidikan, pekerjaan, dan fasilitas umum.
"Meskipun dukungan legalisasi telah ada, seperti UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat serta implementasi dari pencanangan dasawarsa tunadaksa Asia Pasifik, namun keterlibatan atau peran serta tunadaksa dalam masyarakat masih jauh dari yang diharapkan," ujarnya.
Dalam disertasi berjudul “Rehabilitasi Psikososial: Pembentukan Konsep Diri dan Kemandirian Remaja Cacat Fisik”, dijelaskannya bahwa dukungan keluarga, khususnya orang tua, sangat dibutuhkan dalam pembentukan konsep diri dan mencapai kemandirian. Pendekatan psikologis dan emosional orang tua anak dapat menjadi motivator yang kuat menuju kemandirian. Keluarga yang dapat menerima kecacatan anaknya dan memaksimalkan fungsinya akan membantu anak menumbuhkan motivasi dan kepercayaan diri dalam mencapai kemandirian. Selain itu, penting juga untuk tidak memberikan perlakuan diskriminatif dari anggota keluarga, tambah istri Ignatius Kristi Rutyanta dan ibu Ignatia Eka Puspita ini.(Humas UGM/Ika)
Setiap individu memiliki pandangan yang berbeda terhadap dirinya, sejauhmana individu tersebut menyadari dan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Melalui pemahaman terhadap diri sendiri maka individu dapat memberikan gambaran tentang dirinya tersebut yang menentukan penilaian atas dirinya. Penilaian individu mengenai dirinya sendiri, baik bersifat fisik, sosial maupun psikologis yang diperoleh atau timbul dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya disebut dengan konsep diri. Salah satu aspek yang menonjol dalam perkembangan remaja adalah perkembangan fisik. Pertumbuhan fisik terus berlanjut, sehingga mencapai kematangan pada akhir periode remaja. Penerimaan dan penolakan terhadap berbagai perubahan terhadap berbagai perubahan dalam tubuh akan sangat mempengaruhi kesiapan remaja dalam memasuki dunia dewasa. Pada remaja putri khususnya, perubahan penampilan fisik akan lebih terlihat dari sebelumnya. Kelebihan berat badan dari ukuran ideal atau biasa disebut dengan obesitas merupakan suatu hal yang ditakuti oleh banyak remaja putri, karena dapat merusak penampilan dan citranya sebagai seorang wanita. Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep diri remaja putri yang mengalami obesitas dan hal-hal yang mempengaruhi konsep diri. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus dengan subjek penelitian remaja putri berusia 18 – 21 tahun yang mengalami obesitas. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara konvensional yang informal yang didukung oleh metode observasi non partisipan dan observasi berstruktur. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa subjek memiliki konsep diri positif. Adapun ciri-ciri konsep diri positif yang dimiliki oleh subjek adalah yakin akan kemampuannya untuk mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat dan mampu memperbaiki diri. Hasil penelitian ini juga menunjukkan kalau subjek memiliki ciri-ciri konsep diri positif lainnya, yaitu mampu menerima dan memahami kenyataan yang bermacam-macam tentang dirinya sendiri, dapat menerima dirinya apa adanya, dapat menerima orang lain dan tidak merasa bersalah terus-menerus atas keberadaannya. Selain itu subjek juga mampu membentuk pencitraan diri yang positif terhadap dirinya, memiliki kemapuan dan bakat yang baik, tahu siapa dirinya dan apa kelebihan dan kekurangannya. Subjek juga dapat menerima informasi baru karena subjek suka mencoba hal-hal baru yang baik bagi dirinya dan selalu belajar dari pengalaman. Faktor-faktor yang turut mempengaruhi konsep diri subjek yang paling besar adalah faktor belajar dan selanjutnya faktor peran orang tua dan faktor peran sosial. Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pengalaman hidup yang subjek lalui menempa dirinya untuk menjadi individu yang mampu menghargai dirinya dan mengembangkan potensi yang dimiliki tanpa harus terlalu berlarut diri dalam kekurangan. Pola asuh orang tua yang demokratis dan mampu memahami serta memberikan kebebasan kepada anaknya untuk mengekspresikan diri namun tetap bertanggung jawab dan memegang teguh norma agama dan masyarakat akan menciptakan iklim rumah tangga yang dapat memacu pertumbuhan dan perekembangan anak menjadi lebih siap ketika harus bersosialisasi di masyarakat. Selain itu, peran masyarakat yang mampu menerima setiap individu dengan segala kemampuan dan kekurangannya serta rasa saling menghargai akan menumbuhkan keyakinan individu untuk bisa menerima dirinya apa adanya.

1 komentar: